Thursday, June 25, 2015

0 comments

Book Review: Gone Girl


Gone Girl by Gillian Flynn
Genre: Fiction, Mystery, Thriller, Adult

Sinopsis:

Nick dituduh membunuh Amy, istrinya yang tiba-tiba hilang dengan cara yang mencurigakan di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Nick mencoba segala cara untuk menemukan istrinya sekaligus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Review:

Novel ini dibagi jadi 3 bagian besar: part 1, part 2, dan part 3. Tiap bab diceritakan dari sudut pandang Nick dan Amy, secara berganti-gantian di tiap bab nya.

Tanpa sadar aku dibawa ke arah yang macem-macem sama buku ini. Part 1 dari novel: murni thriller. Like, usual detective story. Di bab-bab awal aku udah dibikin penasaran banget, pengen cepet-cepet tau ending nya dan mencoba untuk nggak berpihak kepada satu tokohpun. Oh iya, Part 1 ini juga ngingetin aku sama film All About My Wife, yang bikin aku mengutuk dalam hati “Man, marriage IS hard work”.

Terus taunya di Part 2 kita dibawa ke arah yang sama sekali lain sampe aku dibuat lupa soal “marriage is hard” tadi itu. Di part ini aku malah mikir banyak soal angry feminists. Di saat kita ngerasa “Oh, oke, oke, kayaknya aku tahu kemana arah cerita ini.” sambil mikirin beberapa kemungkinan ending, ternyata arahnya belok lagi, menikung tajam.

Part 3 agak anti klimaks tapi kita tetap dijanjikan suatu klimaks yang memuaskan, jadi masih semangat baca. Tapi kemudian….aku dibikin geleng-geleng kepala sama Mbak Gillian Flynn ini. “Mbak Gillian.... Gilingan juga lu, ya.” (pun intended)

Sampe sekarang aku belum nonton filmnya. But when the movie was released, almost everyone in my twitter timeline freaked out about the ending. Jadi aku udah nyiapin mental dari awal: “Jangan percaya siapapun di novel ini, jangan nuduh siapapun, jangan terlalu kaget nanti pas di ending..” Hahahah. I remember someone on Twitter say something about Gone Girl containing the word: “manipulative”. Ya. Ya, itu kata kunci dari cerita ini.

Tapi tetep aja aku kaget dan kesel sama endingnya. Karena asumsiku sebelum baca, kalau banyak orang kesel dan kaget sama endingnya, kemungkinan endingnya adalah sesuatu yang grand, totally fucked up, pokoknya parah. Tapi ternyata endingnya sama sekali berkebalikan dengan asumsi itu, tapi sama parahnya atau malah lebih parah. Nah, lho, gimana tuh.

I had to take a moment after done reading it. Wrinkling my nose and forehead, screaming in my head: “Why, Gillian Flynn, why??!” Anyway, THIS is why.

Ugh.

I have to say that the whole story is brilliant. Rumit, tapi gak bikin aku sampe harus baca ulang beberapa bagian cerita. Bukunya juga tebel banget, rasanya nih buku lamaaa banget habisnya. Bukan karena ceritanya ngebosenin, mungkin aku cuma terlalu gak sabaran aja ya pengen tahu endingnya kayak gimana. Tapi emang cukup rumit skenarionya, layer per layer cerita dibuka satu-satu, disertai gambaran tekanan dan depresinya si tokoh.

After reading the book, I understand that: marriage IS hard, your parents has bigger impact on you than you realize, there are so many kinds of mental illness and (sorry) lots of them are scary if it doesn’t handled well and scarier when it’s not even detected.

I enjoyed it, though. 4,5 stars out of 5 stars.

“There's a difference between really loving someone and loving the idea of her.” 

Monday, June 22, 2015

0 comments

Book Review: An Abundance Of Katherines


Judul: An Abundance Of Katherines
Penulis: John Green
Genre: Young Adult, Contemporary

Menceritakan tentang Colin Singleton, anak prodigy yang sedang patah hati karena baru putus dengan pacarnya, Katherine XIX (ke-19). Kenapa ke-19? Karena ke-18 pacar Colin sebelumnya juga semuanya bernama Katherine. Entah ada apa antara Colin dengan nama “Katherine”.

Hassan, sahabat Colin satu-satunya, nggak tega melihat sahabatnya depresi. Ia mengajak  Colin untuk pergi road trip dengan harapan Colin melupakan kesedihannya. Ternyata mereka malah terdampar di kota kecil Gutshot, Tennessee, di mana Colin menemukan Eureka moment yang selama ini dicarinya.

Review:

Oke, pertama: Motivasi dimulainya cerita menurutku agak dipaksakan. Cerita dimulai saat mereka mulai road trip, kan, tapi motivasi untuk road trip itu kok agak maksa dan menye-menye banget yah. Emang sih si Colin ini orangnya menye-menye, mungkin karena itu buatku jadi ngeselin kok kayak gitu aja ujug-ujug road trip. Bukan berarti road trip gak boleh spontan, tapi terkesan terlalu tiba-tiba aja awal ceritanya. This “Katherine” thing juga cukup maksa sih, si Colin seolah jadi fetish sama nama Katherine. Padahal sih bukan gitu.

Kedua: Tokoh utama kurang likable (Mungkin karena dia prodigy? Jadi aku yang anak biasa-biasa ini jarang bisa relate sama apa yang dia pikir dan rasakan?), begitu juga tokoh pembantu, Hassan, yang seharusnya lucu (memang kadang-kadang suka lucu sih..) tapi di awal dia langsung sok asik banget dan membikin aku jadi: -_- Tokoh paling likable adalah Lindsey.

Ketiga: Penyebab mereka jadi lama di Gutshot itu menurutku juga agak maksa. Mungkin ini gara-gara kurang pendalaman karakter Hollis, ya. Mungkin. Terus ekspektasiku cerita bakalan berlatar di berbagai tempat karena awalnya kan mereka road trip tanpa tujuan. Tapi ternyata 90% cerita malah berlatar di Gutshot, alias mereka nggak kemana-mana (tenang, ini bukan spoiler).  Jadi agak beda aja sama ekspektasi.

Keempat: Uniknya buku ini, di sepanjang buku ada puluhan catatan kaki, mengenai info yang penting sampai nggak penting. Bagi yang nggak familiar dengan agama Islam, catatan kaki ini bisa jadi penting karena cukup banyak istilah Islam dan bahasa Arab yang diucapkan Hassan. Unik, karena aku belum pernah baca buku yang punya catatan kaki sebanyak ini, dan rasanya jadi kayak nonton film versi director commentary, cuma ini jadinya writer’s commentary.

Kelima: Mungkin kalo kamu suka matematika, novel ini akan lebih menarik buatmu, karena Colin is a nerd, he does math. There are maths in this book, I’m not kidding. Buat seseorang yang gak suka matematika sepertiku, it’s like: “Yaampun apaan sih nih itung-itungan, ga ngerti.” Di awal-awal buku aku bacain tuh hitungan-hitungannya, tapi kemudian si penulis nyempilin pesan bahwa matematika di buku ini opsional untuk dibaca, kamu gak harus ngerti itu untuk ngerti ceritanya. Alhasil aku skip semua bagian itu hahahahah

Oke, itu aja. Sebelum baca ini aku udah denger-denger bahwa banyak yang bilang kalo novel ini novel terburuknya John Green diantara semua novelnya. Bukan berarti  novel ini jelek, tapi kalau dibandingkan sama novel-novel dia yang lain mungkin iya. Makanya dari awal ekspektasiku nggak tinggi. Sekarang aku belum bisa bilang apakah itu bener atau nggak, karena novelnya yang sudah aku baca itu baru: TFiOS, Paper Towns, dan Looking For Alaska. Untuk saat ini novel ini ada diurutan bawah. Urutan paling atas masih: TFiOS.

Kesimpulannya, novel ini layak baca kok, tapi jangan berekspektasi tinggi. Mungkin kalau kamu baru putus, atau kamu anak prodigy, atau kamu suka cerita tentang anak-anak pinter, atau kamu suka matematika, kamu bakalan suka buku ini. I give this book 2 stars out of 5 stars.

Bonus: I imagine Colin Singleton as Robert Sheehan as Simon in The Mortal Instruments. Simply because: glasses and curly hair. Haha.


“If people could see me the way I see myself - if they could live in my memories - would anyone love me?” - Lindsey Lee Wells
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...